Islam

Islam adalah agama yang mudah, tidak menyulitkan penganutnya. siapa yang belum mengenalnya mungkin mengira islam agama yang sulit untuk dipraktikkan, karena aturannya yang sangat banyak. Untuk itu, marilah kita mempelajari apa itu islam. Kajian ilmu islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah islam. Artinya jangan sampai kita belajar islam dari sumber yang salah. Sumber yang valid dan ilmiah sangat perlu guna keselamatan dan keautentikan ajaran islam yang kita dapatkan. Ilmu yang pertama kali kita pelajari adalah Aqidah.
Namun untuk mempercepat dan lebih menambah keilmuan kita, setiap artikel akan langsung di share, baik langsung maupun harus didownload dahulu.

Hukum Musik


Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa haldan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik atau tidak).

Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.

Kita perhatikan ayat pertama:

“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna …”

Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:

“‘Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan …”

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur’an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur’an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan.”

Adapun ayat kedua:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”

Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)

Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap ‘ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):

“… dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al Furqan: 63)

Andaikata kita terima kata “laghwu” dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya.

Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw. memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?” Beliau menjawab, “Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”

Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya’. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: “Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? [Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan] Allah SWT berfirman:

“… maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan …” (Yunus, 32)

Maka jawaban saya [Ibnu Hazm], mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan.”

Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.” (Ibu Hazm, al-Muhalla)

Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya.” Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu.”

Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Kemudian Rasulullah saw. menimpali:

“Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”

Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.

Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa saya kemukakan beberapa syarat yang harus dijaga:

1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam.

Nyanyian yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.

Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 31)

Dan Rasulullah saw. bersabda:

“Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.

2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.

Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.

Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)

3. [Tidak berlebih-lebihan]

Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”

Bagi pendengar – setelah memperhatikan ketentuan dan batas-batas seperti yang telah saya kemukakan – hendaklah dapat mengendalikan dirinya. Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah ke dalam hatinya, agamanya, dan akhlaknya.

Tidak diragukan lagi bahwa syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.

Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya, menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam lembah yang haram – suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.

Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kemungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya, maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).

Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan menjaga diri serta bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat menjauhkan kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:

“Hai Nabi katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (Al Ahzab: 59)

“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya…” (Al Ahzab: 32)

Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam.

Sumber : http://muhshodiq.wordpress.com/2009/03/29/hukum-musik-nyanyian-halal-fatwa-yusuf-qardhawi/comment-page-1/#comment-47377

Tafsir Basmalah

Pacaran

Pacaran telah menjadi sebuah fenomena yang tidak terbantahkan di Indonesia. Setidaknya sebagian besar masyarakat mengakui dan menerimanya sebagai bentuk apresiasi perasaan sosial mereka. Kita menyebut sebagian besar jika setengah lebih dari masyarakat kita mau menerima budaya ini. Meskipun tidak sedikit dari masyarakat kita menentang adanya budaya ini. Notabene mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim yang kata sebagian dari mereka islam sepakat mengharamkan pacaran. Namun tidak jarang juga dari mereka, para muslim dan muslimah, yang tidak menganggap haram budaya pacaran ini. Lalu bagaimanakah pandangan yang benar tentang budaya pacaran yang konon dari barat ini?
Sekarang marilah kita berpikir jernih untuk membahas masalah ini. Menyingkirkan perasaan dengki dan dendam. Membuang jauh kefanatikan yang selama ini selalu mendarah daging seakan tidak benar jika bukan dari kelompoknya. Tidak sah jika bukan dari guru dan ustadz-ustadznya. Dengan berpikir yang adil dan jernih, Semoga kita bias mengambil sebuah kebenaran yang dapat kita pertanggungjawabkan. Karena kaum kafir yang adil lebih dibela Alloh, di dunia ini, dari pada muslim yang tidak ada pada drinya sifat keadilan.
Sebelum kita mengharamkan pacaran atau membolehkan atau memakruhkan pacaran, kita tinjau dahulu makna pacaran yang sebenarnya.
Pacaran adalah hubungan antara dua orang (laki-laki dan perempuan)
1. untuk berbagi perasaan (tanpa adanya hubungan badan dan berdua-duaan). Biasanya hanya dilakukan dengan perbincangan atau melalui media komunikasi tertentu. Kalaupun bertemu hanya sebatas obrolan ringan tanpa mengarah kepada hubungan badan meskipun bias jadi keduanya sangat menginginkannya.
2. untuk melakukan hubungan badan atau yang mendekatinya sebagaimana yang sering terjadi di barat.
3. untuk memulai sebuah pernikahan. Biasanya diketahui dan disetujui oleh kedua belah pihak orang tua. Dalam hal ini ada dua bentuk. Pertama mereka yang tidak berhubungan dengan pasangannya baik melalui telepon maupun langsung sebelum pernikahan dan mereka yang berhubungan hanya melalui media komunikasi tanpa melakukan pertemua. Adapun jika melakukan pertemuan hanya sebatas keperluan saja.
Dari berbagai kemungkinan definisi dan artian tersebut, apakah tepat jika kita katakana bahwa pacaran adalah tidak diperbolehkan? Tentu tidak.
Sekarang kita akan membahas satu per satu dari tiga kondisi yang telah kita sebutkan tadi.
Kondisi pertama, yang lebih aman adalah tidak diperbolehkan. Hal ini masuk dalam pembahasan larangan mendekati perzinaan. Bahasan lebih lanjut dapat dibaca pada referensi yang bertalian dengan tema ini. Kondisi kedua, tentu semua orang islam yang masih benar islamnya akan mengharamkannya. Dan yang masih menjadi perdebatan adalah kondisi yang terakhir, ketiga. Ketiga yang pertama Insya Alloh, masih diperbolehkan. Begitupun yang kedua. Namun untuk lebih amannya kondisi yang keduapun juga tidak dilakukan.
oleh Eko Hadi Nurcahyo, ibnu Syarif al Idris

Perseteruan yang Merugikan antara Al-Ikhwan al Muslimun dan Salafy
Terkejut mendengar salah seorang penuntut ilmu yang melontarkan perkataan tidak sopan terhadap salah seorang ulama besar pada abad ini. Seorang syaikh yang keilmuannya tidak diragukan bagi sebagian umat islam. Sementara itu dari pihak lain caci maki dan hujatan terdengar mengiris hati orang-orang mukmin yang masih mempunyai hati. Bagaimanakah sikap kita sebagai seorang mukmin menaggapi hal ini. Akankah jika hal itu terjadi di negeri kita tercinta kita biarkan melarut-larut. Menunggu sampai keduanya benar-benar bertengkar dan bertumpah darah.
Hal serupa terjadi pada dua jamaah besar islam yang keduanya Insya Alloh berada pada jalan yang benar. Ikhwanul Muslimin (IM) dan Salafy-kaum salafy tidak menghendaki mereka disebut sebagai sebuah organisasi, melainkan sebuah manhaj yang mengacu kepada pemahaman para sahabat dan salafusholeh. Terlepas dari itu semua, keduanya terlihat seperti sebuah kelompok sehingga bisa dilihat cir-ciri orang yang ada di masing-masing golongan tersebut. Seberapa jauhkah “permusuhan” dua kelompok tersebut?
Tulisan ini mecoba untuk memahami semua bentuk pertikaian fikiran yang pernah terjadi antara dua kelompok tersebut. Penulis tidak bermaksud sedikitpun untuk memanas-manasi perbedaan yang terjadi. Tidak pula membela salah satu kelompok dan menjatuhkan kelompok yang lain seperti kebanyakan tulisan yang ada. Penulis berupaya obyektif dalam menilai sesuatu sehingga kebenaran Insya Alloh tidak akan jauh dari tulisan ini. Penulis juga akan adil dalam membuat setiap penilaian yang ada, insya Alloh menurut pandangan penulis sendiri. Dengan keadilan di tangan seseorang, Alloh akan selalu menjaga dan memenangkannya.
Asal mula “pertikaian”
Bara “peperangan” tidak penulis ketahui awal mulanya. Sejak Jamaah IM berdiri tahun 1928, peperangan tidak memanas kecuali pada akhir-akhir tahun 2000-menurut yang penulis ketahui. Peperangan itu dimulai dari beberapa pelajar yang mulai “menyulut” permusuhan. Beberapa syaikh Saudi-sepengetahuan penulis, tidak pernah melakukan serangan terhadap jamaah IM. Hanya beberapa muridnya yang mulai meminta para syaikh ini untuk membuat fatwa tentang jamaah ini. Dari sinilah pertikaian itu berkembang dan seakan mereka tidak dapat dipersatukan-padahal bisa saja ketika keduanya saling berlapang dada. Sampai sekarang permusuhan itu Nampak semakin jelas, padahal ulama-ulama telah melarang adanya pertikaian dan mengajak kepada persatuan umat.
Semenjak mursyid pertama Hasan Al Banna mengirimkan relawan IM untuk membantu perjuangan Palestina, semenjak itu pula pro dan kontra terus bermunculan. Ada banyak simpati yang muncul, namun tidak sedikit pula yang menghalang-halanginya. Akhirnya dengan tuntutan dari pihak-pihak yang tidak senang kepada islam bantuan relawan dari IM dipanggil pulang. Padahal jika tidak dipulangkan bisa jadi palestina sekarang bisa merdeka tanpa ada penjajahan dari Israel. Pemulangan tersebut tidak lepas dari pengaruh inggris yang pada waktu itu menjajah mesir.
Siapa yang bertikai?
Sebenarnya tidak tepat jika kita tuliskan bahwa IM berseteru dengan salafy. Karena sebenarnya mereka sangat dekat dalam hal manhaj dibandingkan dengan firqah-firqah lain seperti syiah, khawarij, dsb. Mereka lebih dekat kepada sebuah organisasi dakwah. Dalam hal pengambilan sebuah ijtihad hukum pun mereka merujuk kepada sumber-sumber yang relatif sama. Lalu sebenarnya siapakah yang berseteru?
Orang bijak tentu tidak menggunakan perkataannya untuk menyinggung ataupun menyakiti orang lain, terlebih lagi saudaranya. Hanya orang-orang dengki saja yang mudah untuk menjatuhkan salah terhadap orang lain. Sehingga penulis berkeyakinan, meskipun belum tentu benar, bahwa yang membesar-besarkan permusuhan ini adalah para pelajar salafy dan pengikut IM yang tidak memahami benar segi permasalahan.
Keterbatasan informasi dan manipulasi sejarah oleh orang yang tidak bertanggung jawab sangat berperan dalam menebar permusuhan mereka. Bagi orang yang memahami perselisihan pasti mampu menempatkan lidahnya dengan benar. Seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu Baaz yang memohon keringanan hukuman bagi Sayyid Qutbh manakala dia dihukum mati menunjukkan bahwa beliau masih menganggap bahwa Sayyid termasuk pejuang islam yang layak dibela. Pandangan lain disampaikan oleh Syaikh Jibrin yang mengatakan bahwa Hasan dan Qutbh merupakan salah seorang ulama. Begitu pula syaikh Bakr yang membela Sayyid Qutbh dari serangan salah seorang ulama salafy.
Dari pemuka IM pun sebenarnya banyak yang belajar dari ulama salafy. Penghulu IM pernah berinteraksi dan berhubungan dengan Imam Albany. Begitu pun Dr. Qordhowi yang sering meminta pendapat dalam masalah hadits kepada Albany. Masih banyak lagi para pemuka IM dan pengikutnya yang “sopan” yang tidak menjatuhkan dan merendahkan para ulama dan pelajar salafy. Bahkan sebagian besar pengikut IM pun menuntut ilmu kepada para ulama salafy.
Begitulah jika kita memehami benar permasalahan yang terjadi. Akhirnya kita akan menyimpulkan, semoga benar, sesungguhnya tidak terjadi permusuhan antara mereka bagi orang-orang yang hatinya bersih. Kritik dan saran tentu pasti ada karena tidak ada seorangpun setelah Rosululloh yang selalu benar. Apalagi sebuah organisasi ataupun jamaah yang besar yang terdiri di dalamnya banyak orang dari berbagai daerah dengan kharakteristik yang berbeda. Semoga islam bersatu.
Bagaimana sikap kita?
Sikap yang paling benar bagi seorang muslim adalah menjadi pertengahan dan tidak fanatic. Artinya kita tidak boleh berat sebelah dalam melakukan penilaian. Yang salah kita katakana salah dan yang benar kita katakana benar. Perjalanan masih panjang bagi kedua jamaah. Dalam setiap langkah perjalanan tentu ada beberapa yang harus diperbaiki baik melalui saran ataupun kritik. Kerja sama antar jamaah menjadi peran yang tidak boleh dilupakan.

Oleh Eko Ibnu Syarif Al Idris

Membaca alqur’an dengan mushaf ketika shalat

Terkadang kita mengamalkan suatu perkara dalam masalah agama berdasarkan anggapan akal. Menganggap dengan pemikirannya bahwa perbuatan tersebut lebih utama setelah menimbang-nimbang, tentunya dengan anggapan sendiri. Sebagai contoh dalam dalam hal ini adalah masalah membaca alquran dengan ketika sholat. Sebagian kaum muslimin menganggap baik perkara membaca alquran dengan mushaf ketika sholat. Sangkaan seperti ini adalah keliru dan tidak tepat dalam menempatkan sesuatu.
Membaca alquran mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Hal tersebut merupakan amalan utama yang jika diamalkan pada tempatnya. Artinya tidak semua bacaan alquran bisa menjadi kebaikan jika salah menempatkannya. Sebagai contoh adalah membaca alquran di kuburan untuk mengambil keberkahan. Hal ini tentu sudah pasti haram. Salah satu contoh lagi adalah membaca alquran dengan mushaf ketika shalat, yang kemudian dikomentari seorang ulama bahwa hal tersebut tidak dianjurkan, namun juga tidak diharamkan.
Alasan kenapa kita tidak dianjurkan untuk membaca mushaf ketika shalat adalah tentang keutamaan memandang sujud sewaktu shalat, kecuali pada saat tasyahud yaitu memandang jari. Memandang tempat sujud adalah sunnah dan termasuk kesempurnaan shalat. Sehingga meniadakan sesuatu yang menyempurnakan maka hasilnya akan kurang sempurna. Maka penulis berpendapat bahwa membaca mushaf ketika shalat merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan untuk dilaksanakan.
Bagaimana dengan alasan supaya bisa menyimak bacaan imam kalau ada kesalahan. Karena bacaan imam tidak kita hafal, maka salah satu cara adalah menyimak mushaf. Atau karena alasan untuk menambah keutamaan shalat dengan bacaan panjang padahal kita tidak banyak hafalan, sehingga mengharuskan membaca mushaf. Pertanyaan tersebut bisa dijawab dari dua sisi.
Pertama kesalahan bacaan imam tidak menjadi tanggungan makmum bila memang makmum tidak mengerti sama sekali. Hal itu termasuk ke dalam hukum tidak tahu. Kedua jika kita tidak mampu menghafal banyak maka itu bisa menjadi pelecut diri untuk menghafal lebih banyak lagi. Atau cara lain adalah mlafadzkan berulang-ulang semua surat yang kita hafal. Dan amalan ini menurut beberapa riwayat yang penulis ketahui tidak dipermasalahkan oleh para imam.

Oleh Eko Ibnu Syarif Al Idris

Ikhtilaf

Perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat. Sebagian Imam mengatakan bahwa hadits tersebut palsu, atau setidaknya lemah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan argumen. Seandainya kedudukan hadits tersebut shahih,maka penafsiranya tidaklah berarti bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Nabi adalah mendatangkan rahmat. Bahkan perbedaan pendapat yang terjadi sering menimbulkan bencana tersendiri bagi umat islam. Sebagai contoh adalah perbedaan penetapan jatuhnya hari-hari raya umat islam. Setiap kelompok menetapkan jatuhnya hari-hari raya tersebut sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kalau begitu, bagaimana seharusnya kita menyikapi adanya perbedaan?
Perbedaan pendapat di kalangan umat sudah terjadi sejak zaman shahabat. Namun perbedaan itu lantas tidak membuat mereka saling bermusuhan. Sebaliknya mereka saling menghargai pendapat shahabat lain dan tetap menjaga persaudaraan. Bagi mereka persatuan umat islam haruslah menjadi yang utama. Namun hal yang perlu dicatat adalah perbedaan tersebut tidak dalam permasalahan aqidah. Semua bersepakat bahwa aqidah para shahabat adalah aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka masih dalam seputar permasalahan fiqih, muamalah, maupun hudud.
Oleh karena itu Imam Ahmad berkata mengenai permasalahan qunut. Beliau mengatakan bahwa jika seseorang mendapati imam qunut maka sebaiknya ia qunut dan mengaminkan do’anya meskipun beliau sendiri mengatakan bahwa quut itu bid’ah. Beliau lebih mencintai persatuan umat daripada perpecahan. Masih banyak contoh lain dari perbedaan pendapat antar imam namun mereka tetap mengedepankan persatuan umat islam ketimbang perpecahan. Perbedaan pendapat tersebut masih ditolerir selama tidak menyentuh bahasan aqidah.
Terkait perbedaan penetapan jatuhnya hari raya, khususnya di Indonesia selalu menjadi masalah yang diperdebatkan. Termasuk penetapan hari raya qurban pada tahun ini. Pemerintah melalui departemen agama dan beberapa ormas telah menetapkan bahwa hari raya qurban jatuh pada hari rabu, 17 November 2010. Sementara itu sekelompok ormas lainnya bersikukuh merayakan hari raya qurban pada hari selasa, 16 November.
Bagi orang awam yang tidak mengetahui seluk beluk penetapan hari raya, tidak mengetahui ilmu falak akan mudah menyalahkan pihak yang tidak sependapat dengannya. Memberikan vonis sesat kepada siapapun yang menyelisihikelompoknya. Justru sikap seperti inilah yang membuat umat islam seakan terlihat terpecah belah. Mereka orang-orang fanatis yang tidak memahami betapa penting arti persatuan umat. Mereka lebih mementingkan egoisme diri sendiri dari pada kepentingan besar umat islam.
Pentignnya persatuan:
• Sebagai tameng dari kekuatan barat dalam segi apapun dan mampu memenangkan perang melawan penjajah islam
• Mencegah perpecahan yang mungkin terjadi pada semua celah yang menyulut api permusuhan diantara umat islam
• Sarana mencapai tujuan perjuangan islam, yaitu tercapainya hukum Alloh sdi muka bumi ini
Jika persatuan terjaga, Insya Alloh kejayaan islam pasti terjadi. Sedangkan jika perpecahan yang ada maka dampak buruknya sudah bisa diperkirakan. Kemudian kami menghimbau kepada segenap kaum muslimin agar lebih berlapang dada menerima perbedaan yang ada pada kaum muslimin. Seandainya pun ada pihak-pihak yang memang meberikan kritik dan saran atau mungkin bahkan sampai kepada hujatan maka sebaiknya bersabar atas segala sesuatu yang mereka terima dari saudaranya itu. Insya Alloh jika niatnya adalah semata-mata untuk islam maka Alloh akan mencatatnya dan semoga menjadikannya sebaik-baik amal bagi mereka. Wallahu a’lam.

Oleh Eko Ibnu Syarif Al Idris